Seusai mentraktir seorang teman baru-baru ini, dia meminta saran mengenai terobosan rohani. "Gimana ya Ko, aku ini sibuk banget. Aku sibuk kerja dan kuliah, di rumah cuma buat tidur saja. Setiap subuh aku selalu usahakan bangun untuk berdoa, namun aku berdoa dalam keadaan ngantuk. Doa juga kering, tidak terasa apa-apa. Aku ingin mengalami terobosan rohani namun aku kayaknya tidak punya waktu untuk itu." Sebuah pertanyaan klasik yang sudah menjadi pergumulan banyak orang.
Saya bertanya balik padanya apa yang akan dilakukannya jika seorang temannya datang kepadanya dan berkata, "Man, sorry banget gue jarang hubungi elo. Gue sibuk banget neh. Gue seh pengen banget ketemuan ama elo, pengen ngobrol-ngobrol, pengen lakukan hal-hal yang fun bersama, tapi ada halangan di waktu gue. Kalau saja gue gak sibuk, gue mao banget habiskan waktu bersama-sama elo, tapi ya mao gimana lagi, gue cuma bisa berandai-andai, andai saja gue punya banyak waktu luang." Saya bertanya padanya apa reaksi dia pada orang tersebut? Apakah dia marah? Apakah dia kecewa? Apabila dia benar-benar tahu bahwa orang tersebut berbicara dengan kejujuran dan teriakan hati, hati yang rindu untuk berjumpa dengannya, maka apa reaksi dia?
Ketika kita dihadapkan pada teriakan hati seperti itu, kita tidak mungkin akan memarahi teman kita tersebut. Kita akan memaafkan, memaklumi, atau bahkan merangkul dia. Kita bisa malah semakin sayang dengan dia karena dia adalah orang yang sangat amat merindukan kita. Kita tidak akan melihat dia sebagai orang yang menyebalkan, tetapi lebih kepada seseorang yang mencintai kita, merindukan kita.
Bayangkan apa yang dipikirkan Tuhan tentang teman saya itu dengan kerinduan jujurnya. Jika kita manusia saja bisa merangkulnya dalam kasih, apalagi Tuhan kita. Kalikan perasaan kasih kita hingga 1000x hingga sampai ke level kasih-Nya Tuhan, maka kita akan bisa memahami seberapa besar kasih Tuhan kepada kita.
Kuncinya disini adalah pengetahuan bahwa Abba lebih merindukan hadirat kita dibanding kerinduan kita akan hadirat-Nya. Abba lebih menginginkan kita dibanding kita menginginkan Dia. Alkitab menggambarkan Abba sebagai Bapak yang berlari menyambut anaknya yang bodoh pulang. Alkitab menggambarkan Abba sebagai Tuhan yang mengejar Israel, sang pelacur, dan menginginkannya untuk kembali mencintai Dia.
Hosea 3:1 (The Message)
Then GOD ordered me, "Start All Over: Love your wife again your wife who's in bed with her latest boyfriend, your cheating wife. Love her the way I, GOD, love the Israelite people, even as they flirt and party with every god that takes her fancy."
Oleh karena itu, ketika saya datang ke hadirat Abba, saya akan mengatakan berulang-ulang, "Abba, aku milik-Mu. Abba, aku kepunyaan-Mu. Abba, aku kesayangan-Mu." sampai kata-kata itu meresap di batin saya dan saya tersadarkan akan hadirat Dia yang sangat amat menginginkan saya. Saya tahu bahwa kehadiran saya sudah dinantikan-Nya. Tidak dibutuhkan waktu untuk penyesalan. Tidak diperlukan waktu untuk menghakimi diri sendiri. Yang diperlukan ialah waktu berpesta karena Abba ingin menikmati saat-saat bersama dengan saya.
Baru-baru ini ketika saya terkena sindrom jatuh cinta, saya tidak bisa melewatkan sedetik pun tanpa memikirkan si dia. Abba berbisik pada saya bahwa jika kemampuan saya untuk jatuh cinta bisa membuat saya sampai ke titik itu, maka ketika Dia jatuh cinta pada saya, maka Dia akan memikirkan saya lebih dari itu. Bahkan per seribu detik pun saya tahu bahwa Abba memikirkan saya. Waduh, jadi gak sabar neh untuk berlari kembali ke dekapan Abba.
Saya bertanya balik padanya apa yang akan dilakukannya jika seorang temannya datang kepadanya dan berkata, "Man, sorry banget gue jarang hubungi elo. Gue sibuk banget neh. Gue seh pengen banget ketemuan ama elo, pengen ngobrol-ngobrol, pengen lakukan hal-hal yang fun bersama, tapi ada halangan di waktu gue. Kalau saja gue gak sibuk, gue mao banget habiskan waktu bersama-sama elo, tapi ya mao gimana lagi, gue cuma bisa berandai-andai, andai saja gue punya banyak waktu luang." Saya bertanya padanya apa reaksi dia pada orang tersebut? Apakah dia marah? Apakah dia kecewa? Apabila dia benar-benar tahu bahwa orang tersebut berbicara dengan kejujuran dan teriakan hati, hati yang rindu untuk berjumpa dengannya, maka apa reaksi dia?
Ketika kita dihadapkan pada teriakan hati seperti itu, kita tidak mungkin akan memarahi teman kita tersebut. Kita akan memaafkan, memaklumi, atau bahkan merangkul dia. Kita bisa malah semakin sayang dengan dia karena dia adalah orang yang sangat amat merindukan kita. Kita tidak akan melihat dia sebagai orang yang menyebalkan, tetapi lebih kepada seseorang yang mencintai kita, merindukan kita.
Bayangkan apa yang dipikirkan Tuhan tentang teman saya itu dengan kerinduan jujurnya. Jika kita manusia saja bisa merangkulnya dalam kasih, apalagi Tuhan kita. Kalikan perasaan kasih kita hingga 1000x hingga sampai ke level kasih-Nya Tuhan, maka kita akan bisa memahami seberapa besar kasih Tuhan kepada kita.
Kuncinya disini adalah pengetahuan bahwa Abba lebih merindukan hadirat kita dibanding kerinduan kita akan hadirat-Nya. Abba lebih menginginkan kita dibanding kita menginginkan Dia. Alkitab menggambarkan Abba sebagai Bapak yang berlari menyambut anaknya yang bodoh pulang. Alkitab menggambarkan Abba sebagai Tuhan yang mengejar Israel, sang pelacur, dan menginginkannya untuk kembali mencintai Dia.
Hosea 3:1 (The Message)
Then GOD ordered me, "Start All Over: Love your wife again your wife who's in bed with her latest boyfriend, your cheating wife. Love her the way I, GOD, love the Israelite people, even as they flirt and party with every god that takes her fancy."
Oleh karena itu, ketika saya datang ke hadirat Abba, saya akan mengatakan berulang-ulang, "Abba, aku milik-Mu. Abba, aku kepunyaan-Mu. Abba, aku kesayangan-Mu." sampai kata-kata itu meresap di batin saya dan saya tersadarkan akan hadirat Dia yang sangat amat menginginkan saya. Saya tahu bahwa kehadiran saya sudah dinantikan-Nya. Tidak dibutuhkan waktu untuk penyesalan. Tidak diperlukan waktu untuk menghakimi diri sendiri. Yang diperlukan ialah waktu berpesta karena Abba ingin menikmati saat-saat bersama dengan saya.
Baru-baru ini ketika saya terkena sindrom jatuh cinta, saya tidak bisa melewatkan sedetik pun tanpa memikirkan si dia. Abba berbisik pada saya bahwa jika kemampuan saya untuk jatuh cinta bisa membuat saya sampai ke titik itu, maka ketika Dia jatuh cinta pada saya, maka Dia akan memikirkan saya lebih dari itu. Bahkan per seribu detik pun saya tahu bahwa Abba memikirkan saya. Waduh, jadi gak sabar neh untuk berlari kembali ke dekapan Abba.